15 July 2006

Kencan Pertamaku Dengan…

Aku mengenal komputer baru saja. Baru setelah aku masuk ke jenjang SMA. Aku bilang baru saja karena banyak ternyata teman-temanku seangkatan yang sudah mengenal komputer lebih dulu. Umumnya mereka sudah belajar komputer dari sejak SMP lewat muatan lokal yang diberikan pada masing-masing SMP di mana mereka belajar.

Saat aku SMA tersebut, aku menginjak kelas dua, tatkala aku merasakan dan makin menyadari betapa tertinggalnya diriku ini tentang teknologi yang satu ini. Kata Istilah Linux sudah tidaklah asing lagi dalam perbendaaraan pikiranku. Kata-kata ini aku kenal dari tabloid Komputek yang aku langgan tiap pekannya. Disamping makin akrab dengan istilah Linux ini, aku juga makin cemas, bagaimana tidak, sering sekali aku dapati pemberitaan bahwa Linux akan menggeser keberadaan Windows sebagai sistem operasi.

Kecemasanku tersebut bukanlah karena aku “mencintai” Windows. Bukan… bukan itu sebabnya. Kecemasanku ini lebih disebabkan karena aku baru saja belajar komputer terutama Windows. Saat itu aku berpikir bagaimana nantinya jika benar bahwa Windows akan digeser Linux seperti halnya DOS digaser oleh Windows sendiri. Rugi dong aku belajar Windows kalau pada akhirnyai ia tidak dipakai lagi oleh para pengguna komputer, tidak dipakai di kantor-kantor, dan mungkin tidak dipakai di komputer di mana aku bekerja nanti….

Aku sedih. Hal ini menilik bahwa di sekolah aku hanya diajari DOS. Di rental-rental, di warnet-warnet aku tidak pernah mendapati orang memakai DOS, yang mereka pakai adalah Windows, kemudian aku belajar Windows mati-matian dan ternyata, pada akhirnya Windows akan digusur oleh Linux. Wah gawat, percuma dong aku belajar komputer khususnya Windows. Huaa…. hua… Hiiiii…….. Heeeeee, tenang-tenang aku tidak menangis kok, hanya bercanda. Demikianlah pikiran yang terlintas dibenakku waktu itu.

Ah, aku makin terbiasa dengan pikiran konyolku tersebut. Selama SMA aku belum pernah melihat wajah Linux sekalipun, melainkan hanya di screenshot-screenshot yang ditampilakn di majalah-majalah maupun tabloid-tabloid komputer yang pernah aku baca. Tapi aku makin giat dan akrab saja belajar Windows hingga aku lulus SMA.

Lulus SMA…………….

Sebenarnya aku ingin kuliah di Fakultas Pertanian………….. Tapi aku sudah terbiasa bekerja, belajar menghidupi penghidupanku, artinya aku ingin kuliah sekaligus bekerja. OK, akhirnya keputusanku adalah belajar lebih mendalam lagi tentang komputer sekitar satu-dua tahun, baru kuliah di pertanian. Karena itu akhirnya aku merantau ke Malang………

Belum ada setahun setelah lulus,

Di awal tahun 2003, pada sebuah pameran komputer yang dilaksanakan di Gedung SAKRI -kalau tidak salah- Universitas Brawijaya (aku sudah lupa sekarang singkatan dari SAKRI), di situlah aku berkenalan dan berkesempatan memandang wajah elegan si Linux ini. Salah satu stand dalam pameran tersebut mendemonstrasikan Linux dengan salah satu komputernya yang sudah dipasangi Linux. Knoppix katanya. Ternyata begitulah wajahnya Linux, bagus sekali. Aku langsung kesengsem kepadanya. Yang membuat aku makin senang adalah kata si penjaga stand tersebut, bahwa Knoppix ini langsung bisa dijalankan dari CD, jadi tidak usah menginstall seperti di Windows, langsung saja booting dari CD, lari sudah.

Mendengar kenyataan seperti itu aku langsung merogoh uang. Katanya dengan uang 5000 rupiah saja sudah dapat dibawa pulang itu si Knoppix, tidak usah membajak Windows, atau membeli yang aslinya dengan harga selangit itu. Saat itu juga sambil menunggu aku di-bakarkan CD Knoppix oleh yang punya stand sudah aku bayangkan, betapa mesranya kencan pertamaku dengan Linux Knopping larut malam nanti. Hiiiii. jadi geli deh aku mengingatnya.

Setelah mendapatkan CD-nya aku pulang ke kos sebentar, bersama Amat, teman akrabku aku ngomong-ngomong ngalor-ngidul tentang Linux ini. Hingga akhirnya kesempatan yang aku tunggu-tunggu ini muncul. Setelah agak malam aku pergi ke rentalnya Mas Argo, dengan memakai salah satu komputer aku jalankan CD Knoppinx yang baru saja aku dapat tadi.

Deng-deng……… hatiku deg-degan untuk melihat tampilan si Knoppix ini, aku bayangkan keindahan tampilannya seperti yang didemonstrasikan di stand tadi, dan aku akan bermain-main sepuas-puasnya malam ini.

Tapi ternyata……… tampilan yang muncul di layar hanyalah layar hitam menakutkan. Ha. Aku kecewa kenapa ini terjadi……….

Oh tidak, kenyataan ini tidak seindah yang aku impikan, tidak seindah yang aku bayangkan. Aku tidak terima, aku telah dibohongi oleh si Pemilik Stand dalam pametan tadi. Sementara itu beberapa pesan yang ditampilkanyang sempat terbaca olehku adalah kurangnya memori, kurangnya space hardisk dan tidak tersedianya swap. Waduh, istilah apa lagi itu.
Pada akhirnya aku mencoba untuk bisa menerima kenyataan ini. Yah ini adalah hal yang biasa, mungkin karena komputernya tidak memenuhi syarat untuk bisa di tumpangi si Knoppix. Aku coba mengingat-ingat beberapa perintah Linux yang pernah aku dapatkan dari beberapa malajalh dan tabloid yang aku baca. Dan ternyata bisa, jadi ternyata hanya seperti DOS saja.

Akhirnya aku belajar sedikit demi sedikit tentang Linux dari layar hitam yang menyeramkan ini. Kenyataannya belajar hal-hal baru amatlah menyenangkan. Dan kenyataan yang tidak terelakkan lagi adalah bahwa kencan pertamaku dengan Linux tidak seindah yang aku bayangkan sebelumnya.

Nah, saudara-saudara semua, bagaimana kencan pertaman Anda dengan Linux? Menyenagkan atau malah mengecewakan seperti kencan pertamaku?

28 April 2006

Keindahan Yang Sirna

Kali kecil itu membujur dari utara ke selatan, terletak di sebelah barat kosku. Bayanganku, 20 tahun yang lalu mungkin masih mengalirkan airnya yang bening dan segar. Mengaliri sawah di kiri kananya, anak-anak petani mandi dan bermain gembira. Di situ terdapat dam kecil, tempat mengalihkan aliran air ke saluran yang lebih kecil ke arah lain. Tak terbayang lagi betapa besar manfaat saluran kecil itu bagi petani setempat. Kini kali itu memang masih ada, tapi sudah jauh dari apa yang aku bayangkan tersebut. Airnya sih bening, tapi bening-kehitam-hitaman. Kali itu kini sangat dagkal sekali dasarnya, banyak bertumpuk sampah di sana sini baunya pun tidak sedap. Mengenaskan sekali.

Sesaat aku teringat dengan apa yang dikatakan Pak Heru, dosenku, pengampu mata kuliah Pe-Pe-We. Beberapa puluh tahun yang lalu, saat beliau masih muda pernah mengerjakan proyek irigasi di suatu wilayah di Lumajang. Proyek itu memakan biaya yang tidak sedikit tentu saja. Diharapkan proyek itu akan mempermudah petani untuk irigasi lahan pertaniannya, memperkecil input yang harus ditanggung petani dan memperbesar pendapatannya. Lalu apa coba sekarang yang terjadi. Beliau sangat trenyuh saat akhir-akhir ini berkunjung ke sana. Saluran irigasi itu, yang dahulunya di bangun di tengah-tengah sawah kini berubah menjadi di tengah-tengah kota. Yang sangat disayangkan saluran irigasi itu kini mengenaskan nasibnya. Mungkin sama seperti kali kecil saluran irigasi di sebelah kosku.

Kukira keadaan seperti ini bukanlah sesuatu yang langka pada saat ini. Yang aku temui dan yang ditemui oleh Pak Heru mungkin adalah sebagian kecil dari sekian banyak keadaan serupa yang ada di seluruh wilayah Indonesia ini, khususnya Jawa. Salah siapakah? Entahlah, aku juga tak tau.

Suatu hari pernah aku mendengarkan wawancara di radio, sang nara sumber rupanya adalah seorang praktisi yang ada hubungannya dengan dunia pertanian dan juga lingkungan hidup, aku tak tahu secara detail siapa beliau, bagiku itu tidak penting waktu itu. Yang aku ingat hingga saat ini adalah beberapa patah kata yang diungkapkan oleh beliau pada acara tersebut. Katanya, seorang temannya yang sedang studi ke Belanda pernah menceritakan bahwa dia pernah mengetahui dokumen rencana pembangunan yang akan dilaksanakan oleh pemerintahan Hindia Belanda seandanya Belanda masih tetap langgeng menjajah Indonesia. Intinya dokumen itu menyatakan rencana Belanda untuk menjadikan Pulau Jawa, Bali dan Madura sebagai basis pertanian, Pulau Sumatera sebagai basis industri dan pulau Kalimantan sebagai paru-paru dunia dengan melestarikan hutan tropis yang ada di sana. Hal yang demikian ini tidaklah tanpa dasar. Pemerintahan Hindia Belanda berpendapat bahwa rencana pengembangan itu sudah sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing pulau. Bagiku rencana ini sangat menggiurkan. Tapi entahlah, seandanyai rencana seperti itu terlaksana baik oleh pemerintahan Hindia Belanda (seandainya Belanda masih menjajah) maupun oleh pemerintah Indonesia apakah akan menghasilkan keadaan yang lebih baik dibandingkan keadaan saat ini.

Sebagai putra petani yang dibesarkan di tengah sawah, di bawah terik matahari, di atas ayunan gendong ibuku saat menuai padi, di atas garu-garu yang berjalan pelan ditarik sepasang sapi meratakan tanah untuk tandur padi, aku sangat sedih jika melihat keadaan yang ada saat ini. Lahan-lahan pertanian semakin sempit didesak oleh pembangunan gedung-gedung pencakar mega dan oleh perumahan-perumahan yang tidak pernah mengindahkan lingkungan. Ironisnya lahan-lahan yang dijadikan korban merupakan lahan yang subur, yang produktif, yang menyimpan potensi kehidupan bagi berjuta-juta nyawa. Memang siapa sih yang tidak ingin punya rumah di atas lahan yang baik-produktif, tersedia sumber air bersih, pemandangannya indah dan sejuta kelebihan yang lain.

Tapi lihatlah. Apa yang terjadi jika semua itu dilakukan secara berlebihan dan tanpa memperhitungkan daya dukung yang dimiliki lingkungan itu sendiri. Sekarang ini seiring dengan perkembangan perumahan-perumahan elite juga berkembang perumahan-perumahan elit (ekonomi sulit, aku mengenal istilah ini dari Pak Heru). Sekarang sudah tidak sulit lagi mencari rumah-rumah reot di berdiri miring yang ada di bantaran-bantaran sungai. Yang tidak reotpun banyak di pinggir-pinggir kali kecil saluran irigasi sebagaimana yang sudah aku gambarkan. Keadaannya pun sama, sama-sama mengenaskan, milik rakyat-rakyat yang terpinggirkan.

Aku jadi ingat nyanyiannya Iwan Fals. Aku lupa judulnya. OK tak kasih tahu ya nyanyian yang aku maksud. Demikianlah beberapa patah syairnya:

Kambing sembilan motor tiga bapak punya
Ladang yang luas habis sudah sebagai gantinya
Sampai saat tanah moyangnyaku
Tersentuh sebuah rencana dari serakahnya kota
Terlihat murung wajah pribumi
Terdengar langkah hewan bernyanyi

Iwan tentu sudah melihat keadaan itu sebagaimana yang digambarkan dalam nyanyiannya sejak dua puluh atau tiga tahun yang lalu, saat nyanyian itu diciptakan. Yang membuat aku sedih (semoga saudara juga merasakan hal yang sama) adalah bahwa keadaan seperti ini semakin menjadi. Jikalau kita menyadari, keadaan kita tidak semakin membaik namun malah semakin memburuk. Mungkin yang bisa bisa kita lakukan saat ini adalah memulai segalanya dari diri sendiri. Mengendalikan diri sendiri kadang kita masih sulit, apalagi orang lain. Melakukan hal-hal baik yang memang semestinya kita lakukan merupakan langkah pertama dan utama yang harus ditempuh. Siapa tahu perbuatan baik yang kita lakukan dapat membawa manfaat bagi lingkungan dan menjadi contoh bagi individu-individu yang lain. Memang tidak kelihatan sekaligus saat ini hasilnya. Tapi sepuluh-duapuluh-tigapuluh tahun kemudian, saat oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang saat ini sedang menguasai dunia dan digantikan oleh kita yang saat ini masih muda, dunia kita akan menjadi lebih baik. Amiiin

Benar nggak?

28 January 2006

Gara-gara Portuma

lega rasanya.....
urus es pe pe sudah...
urus portuma sudah...
tinggal krs-an saja
tapi ada juga sedihnya. itu lho si fitri tidak bisa registrasi karena belum bayar portuma. hai portuma siapa sih kamu? kewajiban dia sebagai mahasiswa lho sudah ditunaikan eeeee malah kamu halangi dia untuk registrasi gara-gara belum bayar sumbangan yang kamu minta. dasar.
kasihan ya fitri. dia tuh anak pinter. tapi sayang jika dia terlambat registrasi gara-gara belum bayar portuma dia akan kena sanksi hanya dapat nempuh maksimal 12 sks.
ah gara-gara portuma ini. bisa-bisa studinya anak-anak pinter seperti si fitri jadi lama. kalauu anaknya agak blo'on kaya' aku sih nggak pa-pa. awas lho kamu portuma.

26 January 2006

nunda espepe

Akhirnya selesai sudah aku ngurus penundaan eSPePe. Sudah hari senin yang lalu aku ngurusnya n baru selesai sekarang.
paling lama sih pas nunggu ka-te-U untuk a-ce-ce, trus ke pede 2. ini makan waktu dua hari, senin sama selasa. hari berikutnya ngurus ke kantor pusat untuk ditandatangani sama pe-er 2.
terakhir hari kamis. cukup melelahkan. yang ngurus buanyak sekali. trsu petugasnya cuman satu, namanya pak edit, orangnya kecil dan agak mengetek, tapi sebenernya orangnya baik sekali. Tapi kalau dia lagi kesel pasti setiap mahasiswa yang berurusan dengannya sebel termasuk aku, seperti hari kemis itu.
habis ngurus penundaan aku ke UPT TI dan ngaktivasi status-ku.
lega deh rasanya, setengah perjalanan sudah kulalui, tinggal ngurus portuma

25 January 2006

bayar portuma

sebenarnya aku belum mandi pas mau datang ke bank untuk bayar iuran portuma dan sumbanyak insidentil. hi.. hi.. habis pagi ini sepertinya dingiiiiiin skali. jadi aku nggak mandi cuma cuci muka tok.
baru ada dua orang pas aku nyampe' di bank. aku ketemu mas Ghani di sana masih dengan seragam ujiannya sejak kemarin. aku nunggu sambil buka-buka naskahku untuk lomba. maunya sih nunggu sambil nulis gitu. tapi aku nggak bisa. tempatku bukan di keramaian kaya' gini. akhirnya aku nunggu bank buka hingga satu jam sambil duduk dan bongong-bengon. terpaksa aku nggak mau antri jadi lebih baik nunggu.
tapi tak sesuai rencana bank buka pukul delapan lewat dan sudah banyak mahasiswa yang ngantri bareng aku.
sebel juga aku, habis nunggu sejak pagi tapi tidak dapet pelayanan duluan, memang seeh aku nggak mau berjejal-jejal dengan orang-orang. hii. aku malu. untung ada mas didik di sana mau bayar protuma dan spp, jadi aku cukup ninip dan nunggu sambil duduk-duduk melihat cewe'-cewe' kece berkeliaran sana-sini.
smakin siang smakin sesak ya. tentu saja. mungkin juga banyak orang yang belum mandi kaya' aku. hiiiiiii
pulang jam setengah sepuluh. sampai rumah nulis kemudian jum'atan. sorenya ngetik hingga malem....