28 April 2006

Keindahan Yang Sirna

Kali kecil itu membujur dari utara ke selatan, terletak di sebelah barat kosku. Bayanganku, 20 tahun yang lalu mungkin masih mengalirkan airnya yang bening dan segar. Mengaliri sawah di kiri kananya, anak-anak petani mandi dan bermain gembira. Di situ terdapat dam kecil, tempat mengalihkan aliran air ke saluran yang lebih kecil ke arah lain. Tak terbayang lagi betapa besar manfaat saluran kecil itu bagi petani setempat. Kini kali itu memang masih ada, tapi sudah jauh dari apa yang aku bayangkan tersebut. Airnya sih bening, tapi bening-kehitam-hitaman. Kali itu kini sangat dagkal sekali dasarnya, banyak bertumpuk sampah di sana sini baunya pun tidak sedap. Mengenaskan sekali.

Sesaat aku teringat dengan apa yang dikatakan Pak Heru, dosenku, pengampu mata kuliah Pe-Pe-We. Beberapa puluh tahun yang lalu, saat beliau masih muda pernah mengerjakan proyek irigasi di suatu wilayah di Lumajang. Proyek itu memakan biaya yang tidak sedikit tentu saja. Diharapkan proyek itu akan mempermudah petani untuk irigasi lahan pertaniannya, memperkecil input yang harus ditanggung petani dan memperbesar pendapatannya. Lalu apa coba sekarang yang terjadi. Beliau sangat trenyuh saat akhir-akhir ini berkunjung ke sana. Saluran irigasi itu, yang dahulunya di bangun di tengah-tengah sawah kini berubah menjadi di tengah-tengah kota. Yang sangat disayangkan saluran irigasi itu kini mengenaskan nasibnya. Mungkin sama seperti kali kecil saluran irigasi di sebelah kosku.

Kukira keadaan seperti ini bukanlah sesuatu yang langka pada saat ini. Yang aku temui dan yang ditemui oleh Pak Heru mungkin adalah sebagian kecil dari sekian banyak keadaan serupa yang ada di seluruh wilayah Indonesia ini, khususnya Jawa. Salah siapakah? Entahlah, aku juga tak tau.

Suatu hari pernah aku mendengarkan wawancara di radio, sang nara sumber rupanya adalah seorang praktisi yang ada hubungannya dengan dunia pertanian dan juga lingkungan hidup, aku tak tahu secara detail siapa beliau, bagiku itu tidak penting waktu itu. Yang aku ingat hingga saat ini adalah beberapa patah kata yang diungkapkan oleh beliau pada acara tersebut. Katanya, seorang temannya yang sedang studi ke Belanda pernah menceritakan bahwa dia pernah mengetahui dokumen rencana pembangunan yang akan dilaksanakan oleh pemerintahan Hindia Belanda seandanya Belanda masih tetap langgeng menjajah Indonesia. Intinya dokumen itu menyatakan rencana Belanda untuk menjadikan Pulau Jawa, Bali dan Madura sebagai basis pertanian, Pulau Sumatera sebagai basis industri dan pulau Kalimantan sebagai paru-paru dunia dengan melestarikan hutan tropis yang ada di sana. Hal yang demikian ini tidaklah tanpa dasar. Pemerintahan Hindia Belanda berpendapat bahwa rencana pengembangan itu sudah sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing pulau. Bagiku rencana ini sangat menggiurkan. Tapi entahlah, seandanyai rencana seperti itu terlaksana baik oleh pemerintahan Hindia Belanda (seandainya Belanda masih menjajah) maupun oleh pemerintah Indonesia apakah akan menghasilkan keadaan yang lebih baik dibandingkan keadaan saat ini.

Sebagai putra petani yang dibesarkan di tengah sawah, di bawah terik matahari, di atas ayunan gendong ibuku saat menuai padi, di atas garu-garu yang berjalan pelan ditarik sepasang sapi meratakan tanah untuk tandur padi, aku sangat sedih jika melihat keadaan yang ada saat ini. Lahan-lahan pertanian semakin sempit didesak oleh pembangunan gedung-gedung pencakar mega dan oleh perumahan-perumahan yang tidak pernah mengindahkan lingkungan. Ironisnya lahan-lahan yang dijadikan korban merupakan lahan yang subur, yang produktif, yang menyimpan potensi kehidupan bagi berjuta-juta nyawa. Memang siapa sih yang tidak ingin punya rumah di atas lahan yang baik-produktif, tersedia sumber air bersih, pemandangannya indah dan sejuta kelebihan yang lain.

Tapi lihatlah. Apa yang terjadi jika semua itu dilakukan secara berlebihan dan tanpa memperhitungkan daya dukung yang dimiliki lingkungan itu sendiri. Sekarang ini seiring dengan perkembangan perumahan-perumahan elite juga berkembang perumahan-perumahan elit (ekonomi sulit, aku mengenal istilah ini dari Pak Heru). Sekarang sudah tidak sulit lagi mencari rumah-rumah reot di berdiri miring yang ada di bantaran-bantaran sungai. Yang tidak reotpun banyak di pinggir-pinggir kali kecil saluran irigasi sebagaimana yang sudah aku gambarkan. Keadaannya pun sama, sama-sama mengenaskan, milik rakyat-rakyat yang terpinggirkan.

Aku jadi ingat nyanyiannya Iwan Fals. Aku lupa judulnya. OK tak kasih tahu ya nyanyian yang aku maksud. Demikianlah beberapa patah syairnya:

Kambing sembilan motor tiga bapak punya
Ladang yang luas habis sudah sebagai gantinya
Sampai saat tanah moyangnyaku
Tersentuh sebuah rencana dari serakahnya kota
Terlihat murung wajah pribumi
Terdengar langkah hewan bernyanyi

Iwan tentu sudah melihat keadaan itu sebagaimana yang digambarkan dalam nyanyiannya sejak dua puluh atau tiga tahun yang lalu, saat nyanyian itu diciptakan. Yang membuat aku sedih (semoga saudara juga merasakan hal yang sama) adalah bahwa keadaan seperti ini semakin menjadi. Jikalau kita menyadari, keadaan kita tidak semakin membaik namun malah semakin memburuk. Mungkin yang bisa bisa kita lakukan saat ini adalah memulai segalanya dari diri sendiri. Mengendalikan diri sendiri kadang kita masih sulit, apalagi orang lain. Melakukan hal-hal baik yang memang semestinya kita lakukan merupakan langkah pertama dan utama yang harus ditempuh. Siapa tahu perbuatan baik yang kita lakukan dapat membawa manfaat bagi lingkungan dan menjadi contoh bagi individu-individu yang lain. Memang tidak kelihatan sekaligus saat ini hasilnya. Tapi sepuluh-duapuluh-tigapuluh tahun kemudian, saat oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang saat ini sedang menguasai dunia dan digantikan oleh kita yang saat ini masih muda, dunia kita akan menjadi lebih baik. Amiiin

Benar nggak?

No comments: